Mengapa Menulis?
Menulis???
Bagi beberapa orang, kata ini adalah sesuatu yang asing, bahkan menakutkan.
Apa yang harus ditulis? Bagaimana memulainya?
Tapi entah mengapa aku punya sedikit kesenangan untuk menulis.
Menulis merupakan salahsatu bagian penting perjalanan kehidupanku.
Menulis mengantarkan aku menemukan siapa aku.
Karena dalam tulisan-tulisanku, aku mengenali karakterku.
Karena dalam setiap tulisan, aku merefleksikan hal-hal yang kucerna dari sekitar.
Menulis telah membuatku berhasil melalui masa-masa sulit. Karena menulis adalah bagian dari terapi untuk tetap menjadi kuat. Menulis adalah pelarian atas banyak kekecewaan yang seringkali aku rasakan pada masa-masa yang lalu. Dalam tulisan yang terkadang menggunakan kiasan, aku lampiaskan kemarahan dan rasa frustasiku. Sehingga tidak merusak hubunganku dengan orang lain. Selembar kertas tak akan marah bila kita mencela sekalipun. Tapi seandainya itu kuluapkan dalam bentuk emosi entah apa jadinya?
Menulis juga membuatku dapat merasakan dan mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah SWT. Dalam tulisan, aku curahkan rasa haru dan rasa syukurku atas nikmat yang kurasakan.
Menulis juga memberikan pelajaran berharga untuk tidak egois, karena tulisan ini mungkin akan dibaca oleh orang lain. Maka aku harus berpikir dari kacamata orang lain, apakah tulisanku bisa mengkomunikasikan apa yang kuinginkan? Apakah tidak terlalu berbelit-belit? Semuanya harus dilihat dari sisi pandang orang yang akan membacanya.
Menulis memberi pelajaran lain tentang sistematika berpikir. Sehingga dalam bahasa lisan pun, aku lebih mampu menyampaikan ide dengan lebih teratur dan terarah. Karena salah satu kelemahanku (atau menurut seorang psikolog adalah kekuatanku), adalah cara berpikir yang cepat, tetapi suka ngacak dan sering melompat. Memang saya akui, bahwa kecepatan menulisku tidak dapat mengimbangi kecepatan berfikirku.
Menulis juga memberiku kesempatan untuk merekam secara rinci, keadaan emosi, cara berpikir, ide pokok, fakta-fakta, semuanya, pada suatu masa tertentu. Hal ini sangat bermanfaat, bila suatu saat aku ingin menggali kembali latar belakang, keadaan atau suasana hati pada masa-masa yang telah lalu.
Terus terang ini juga sangat bermanfaat dalam pekerjaanku, di organisasi yang produknya adalah laporan. Laporan itu bisa berupa fakta-fakta atau kejadian-kejadian tertentu, yang perlu diketahui oleh orang-orang atau pihak-pihak yang memerlukannya.
Seringkali ketika membaca tulisan yang kubuat pada masa lalu, aku tertawa. Kadangkala aku merasa malu. Kok begitu bodohnya aku kala itu. Kok aku mikirnya kayak gitu. Tapi apa yang aku miliki sekarang ini adalah berkat masa lalu. Dari kebodohan aku belajar menjadi pintar, dari kesalahan aku belajar apa arti kebenaran.
Tapi tidak jarang pula aku merasa kagum, Ternyata ada tulisan-tulisanku yang bagus. Kok, dulu aku bisa menulis seperti itu. Kalau dulu aku bisa nulis seperti itu, sekarang harus bisa lebih bagus lagi, dong. Anehnya, sekarang mau nulis disertasi saja, rasanya susah bukan main.
Syukurlah bahwa tulisan-tulisan masa laluku ada yang menghargainya, sehingga ada teman (pengagum?) atau sahabat yang menyimpannya. Kadang-kadang aku terperangah kalau ada teman yang memperlihatkan tulisan masa laluku. Padahal aku lupa kalau pernah menulis seperti itu. Subhanallah. Padahal aku sudah tidak punya arsipnya lagi.
Tetapi banyak juga tulisanku yang hilang begitu saja. Terbawa oleh berjalannya waktu, yang berlalu bagaikan angin malam. Perlahan tetapi pasti. Itu adalah tulisan-tulisan yang kubuat pada kertas-kertas lepas, buku harian (diary punyaku sendiri ataupun punya teman), atau yang kukirim sebagai artikel atau naskah kolom di koran, majalah, buletin, situs atau blog, atau media-media lainnya, yang karena tidak kupelihara, hilang dengan sendirinya. Tapi paling sedikit, tulisan itu telah berjasa bagiku, sebagai self-theraphy.
Ya….disamping itu semua, aku hanya ingin menyalurkan dan mengungkapkan berbagai hal yang ada dalam hati, perasaan dan pikiranku.
Jadi, mengapa tidak memulai menulis lagi?
Dokid.
1 Comments:
Yupp, you're right Bro...
Dalam dunia yang serba cepat dan individualistik ini, pelan2 memang akan terbangun tembok (baik dibangun dengan sengaja, maupun terbentuk tanpa sadar) disekeliling kita... Tembok itu bisa bernama 'privacy', 'safety', atau bahkan 'dignity'...
Kita mengurung diri kita sendiri dalam tembok2 itu, yang akhirnya membuat kita kesepian...
Nah, menulis bisa menjadi 'teman' dalam kesendirian itu, kita bisa bercakap2 dengan the inner-side kita sendiri... Tapi sebenarnya ini juga bisa berbahaya, kalau tidak dikembangkan lewat semangat membaca. Karena kita jadi akan terperangkap dalam dunia 'ciptaan' kita sendiri yang akan menjurus ke masalah kejiwaan.
Menulis tetap harus dibarengi dengan kebiasaan membaca, agar informasi yang masuk lewat bacaan, bisa mengendap untuk disaring dan diserap sarinya, lalu dituangkan komentar atau opini kita dalam bentuk tulisan.
Phidoet
Post a Comment
<< Home